Sabtu, 24 September 2011

Pers

Kriminalisasi Pers Dalam Prespektif Hukum Pidana
Bagi beberapa ahli hukum berpendapat, istilah delik pers sering dianggap bukan suatu terminologi (uraian) hukum (Muis, 1999:67). Karena ketentuan-ketentuan dalam KUHP menyatakan yang disebut delik pers bukanlah delik yang semata-mata dapat ditujukan kepada pers, melainkan ketentuan yang berlaku secara umum untuk semua warga negara Indonesia. Akan tetapi jurnalis dan pers merupakan kelompok pekerjaan yang defenisinya berdekatan dengan usaha menyiarkan, mempertunjukkan, memberitakan, dan sebagainya, maka unsur-unsur delik pers dalam KUHP itu akan lebih sering ditujukan kepada jurnalis dan pers. Hal ini disebabkan hasil pekerjaannya lebih mudah tersiar, terlihat, atau terdengar di kalangan khalayak ramai dan bersifat umum.
Pendapat ahli hukum yang lain mengatakan, bahwa dalam hukum pidana, ketentuan yang berhubungan dengan tindak pidana pers (delik pers) adalah bagian dari tindak pidana yang mempergunakan alat cetak. Menurut Van Hattum, yang dikutip ahli hukum pidana Indonesia Oemar Seno Adji (dalam Kahya, 2004:18) ada tiga kriteria yang harus dipenuhi dalam suatu tindak pidana pers yaitu:
1.    Ia harus dilakukan dengan barang cetakan.
2.    Perbuatan yang dipidana harus terdiri atas pernyataan pikiran atau perasaan.
3.    Dari perumusan delik harus ternyata bahwa publikasi merupakan suatu syarat untuk menumbuhkan kejahatan, apabila kenyataan tersebut dilakukan dengan suatu tulisan.
Dari tiga kriteria tersebut, nomor tigalah yang secara khusus mengangkat suatu delik mendapat sebutan delik pers dalam arti yuridis.
Dari pendapat ahli hukum tentang definisi delik pers dan definisi tindak pidana maka definisi tindak pidana pers secara teroritis harus memenuhi rumusan atau unsur-unsur sebagai berikut:
1.    Perbuatan yang diancam pidana.
2.    Bersifat melawan hukum.
3.    Pembuatnya dapat dipidana.
4.    Dilakukan dengan barang cetakan.
5.    Adanya pernyataan pikiran atau perasaan.
6.    Adanya publikasi sebagai syarat untuk menumbuhkan kejahatan.
Pasal-pasal dalam buku II KUHP dan pasal XIV dan XV UU No. 1-1946, yang biasa disebut delik-delik pers sebenarnya juga adalah delik-delik komunikasi massa dan delik-delik komunikasi publik. Defenisi lain tentang delik pers yang rumusannya memakai paradigma hukum pidana ialah sebagai berikut:
Delik pers adalah delik yang untuk penyelesainnya memerlukan publikasi dengan menggunakan pers dan terdiri dari pernyataan pikiran atau perasaan yang diancam pidana, atau pernyataan pikiran atau perasaan yang dapat dijatuhi pidana yang untuk penyelesainnya membutuhkan publikasi dengan pers (Muis, 1996:24)
Kedua defenisi tersebut memiliki makna terbatas dengan dua kriteria. Pertama, pernyataan pikiran atau perasaan (proses penyampain pesan, proses komunikasi) itu memang dilarang atau diancam pidana. Kedua, komunikasi itu harus selesai atau terjadi dengan terbitnya surat kabar/majalah yang bersangkutan. Dengan demikian jika diikuti kriteria atau tolak ukur di atas maka kejahatan pembocoran rahasia (Pasal 322 KUHP), pelanggaran hak cipta (UU No.6-1982 jo UU No 7-1987), pornografi (Pasal 282, 532, 533 KUHP) dan penipuan (Pasal 378 KUHP) melalui surat kabar atau majalah tidak termasuk pengertian delik pers. Pasal-pasal yang masuk kategori delik pers hanyalah Pasal 154-155, 156-157, 156a, 160-161, 207-208, 310-312, 320, 321 dan pasal XIV-XV UU No. 1-1946.
Tetapi jika dipakai definisi menurut pendekatan ilmu komunikasi, maka kecuali penipuan semua macam proses penyampain pesan (komunikasi) melalui pers yang dilarang oleh undang-undang termasuk delik pers. Kriteria yang digunakan ialah komunikasi melalui media cetak (pers). Yakni proses komunikasi itu terwujud setelah media cetak yang bersangkutan terbit.
Undang-undang melarang tindakan komunikasi melalui pers (dan media massa lainnya). Misalnya pembocoran rahasia. Memang ”rahasia” yang bersangkutan sudah ”bocor” kemudian peristiwa tersebut disampaikan oleh seorang (”si pembocor”) kepada wartawan. Maka peristiwa itu merupakan kejahatan tersendiri, yakni delik komunikasi sosial (antar pribadi). Pada waktu wartawan yang bersangkutan menurunkannya menjadi berita atau tulisan by line terjadi pula delik lain, yakni delik pers. Begitu pula plagiat atau pelanggaran hak cipta dan pornografi.
Defenisi delik pers menurut paradigma komunikasi dapat disebut ”aliran” luas. Sedangkan yang memakai paradigma hukum (pidana) dapat disebut ”aliran yang sempit”. Menurut sistem KUHP Indonesia delik pers memang bukan delik khusus, tidak diberikan rubrik tersendiri.
Format tanggungjawab bagi kebebasan pers di Indonesia ternyata amat luas. Disamping harus bertanggungjawab menurut undang-undang hukum pidana (sering pula ada gugatan perdata terhadap pers yang menyangkut “pencemaran nama baik”) harus pula bertanggungjawab kepada kekuasaan politik dan kepada masyarakat. Itulah sebabnya ada delik-delik tertentu yang telah diperluas menjadi semacam kewajiban politik tidak tertulis. Misalnya yang dikenal dengan sebutan MISS-SARA (Menghasut, Insinuasi, Sensasi, Spekulasi, Suku, Agama, Ras dan Antar golongan). Istilah tersebut dalam sistem pers Pancasila mempuyai implikasi tanggungjawab politik yang dapat mengakibatkan pembatalan (SIUPP) Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (Muis, 1996:25).
Rumusan delik pers yang bersifat bebas (materil) dapat mengamankan pelaksanaan demokrasi karena fungsi informasi dan pengawasan sosial yang diembannya dapat dijalankan tanpa penuh rasa takut yang tidak perlu. Pers dengan demikian dapat dengan tenang mempertimbangkan tentang perlu/patut tidaknya sesuatu berita atau tulisan disiarkan.
Pada umumnya, pemberitaan yang kurang akurat seringkali menimbulkan tuduhan kepada pers yang telah melakukan pencemaran nama baik atau penyerangan terhadap kehormatan secara tertulis (Pasal 310 ayat 2 KUHP) dan fitnah (Pasal 311 KUHP) serta perbuatan melawan hukum (1365 KUH Perdata dan 1372 KUH Perdata). Dalam Pasal 310 KUHP ayat (1) dan (2) ditegaskan:
1.    Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, dengan menuduh sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus ribu rupiah.
2.    Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan dimuka umum, maka yang bersalah, karena pencemaran tertulis, diancam pidana penjara paling lama atau satu tahun empat bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Adapun dalam Pasal 311 ayat (1) KUHP mengatur: Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis, dalam hal diperbolehkan untuk membuktikan bahwa apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam karena melakukan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Sedangkan KUH Perdata Pasal 1365 juga menegaskan: Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seseorang yang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Pasal 1372 tuntutan perdata tentang hal penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan nama baik (Djatmika, 2004:9 dikutip berdasarkan KUH Perdata).
Pasal-pasal tersebut di atas merupakan aturan hukum yang mengatur perlindungan hukum (pidana dan perdata) bagi pihak yang menjadi korban pencemaran nama baik atau fitnah serta perbuatan melawan hukum oleh pers. Dalam referensi hukum pidana, pasal-pasal di atas merupakan bagian dari tindak pidana (delik) pers. Pasal-pasal delik pers lainnya adalah, pornografi, penyiaran kabar bohong, penghinaan terhadap agama, penyebaran kebencian terhadap pemerintah yang sah, penghinaan kepada presiden dan wakil presiden, penghinaan kepada negara sahabat, dan sebagainya.
Dalam konteks peradilan pidana, pemberitaan pers menempati posisi sentral khususnya dalam upaya menegakkan hukum dan demokrasi. Melalui pemberitaan pers, proses peradilan pidana akan berjalan lebih terbuka, sehingga segala tindakan penegak hukum selama proses perkara berlangsung dapat diketahui serta lebih mudah dikontrol. Dengan demikian potensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dapat diminimalisasi.
Namun kenyataannya, pemberitaan pers tampaknya tidak selalu direspon secara positif oleh masyarakat, bahkan kadang menimbulkan antipati sebagai akibat dari berita-berita yang terkesan tendensius dan tidak objektif. Pemberitaan pers memang dapat berdampak negatif tatkala pers menyajikan berita yang bersifat menganalisis dan seolah turut ikut mengadili suatu perkara pidana yang masih dalam proses pemeriksaan.
Untuk itu, dalam penyajian berita, pers dituntut secara sungguh-sungguh bersikap objektif, independen dan senantiasa memperhatikan prinsip keseimbangan. Bila hal ini diabaikan, maka peluang terjadinya tuntutan dari masyarakat akan terbuka lebar.
Salah satu contoh adalah kasus Tempo yang pernah memposisikan Bambang Harimurti sebagai terdakwa. Meskipun pada gilirannya putusan hakim atas Bambang Harimurti ini menimbulkan reaksi yang cukup keras dari pelbagai kalangan, khususnya insan pers. Pertanyaan yang dilontarkan adalah apakah pers yang menurunkan berita demi ”kepentingan umum” pantas dikenakan sanksi pidana dan apakah tindakan tersebut tidak berimplikasi terhadap pemansungan kebebasan pers.
Sesungguhnya reaksi ini sudah muncul jauh sebelum putusan atas Bambang Harimurti dijatuhkan, yaitu ketika Dewan Pers mengadakan suatu lokakarya yang bertemakan ”Kebebasan pers dan penegakan hukum”.
Dari pemaparan Dewan Pers dapat ditangkap adanya nuansa agar pers tidak dikriminalisasikan dengan alasan pers bertindak demi kepentingan umum. Paling tidak, menurut mereka bila pers dikriminalisasikan tidak menerapkan KUHP melainkan UU RI, No. 40 Th. 1999 tentang Pers dengan alasan lex specialis (Tahir, 2007:132).
Namun dalam masalah yang muncul adalah (bila lex specialis) hendak diterapkan, kriminalisasi yang terdapat dalam UU RI, No. 40 Th. 1999 tentang Pers khususnya Pasal 18 angka 2 berpotensi menimbulkan perdebatan. Disitu ditegaskan ”Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 (1) dan (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000.00,- (Tahir, 2007:133).
Meskipun pers mempuyai kewajiban memberikan informasi yang lengkap kepada masyarakat, namun bukan berarti privasi seseorang sama sekali tidak dihormati. Untuk itu, berbagai asas seperti keseimbangan, indenpendensi, dan asas praduga tak bersalah harus senantiasa dijunjung tinggi oleh pers dalam setiap menjalankan profesinya.
Pengaturan tentang kebebasan beropini dan berekpresi, juga dapat disimak dalam Universal Declarition of Human Right (1948). Dalam Pasal 19 menegaskan bahwa: “Setiap orang memiliki hak untuk bebas beropini tanpa adanya campur tangan serta kebebasan mencari informasi dan gagasan melalui media apapun tanpa adanya batas-batas (Tahir, 2007:134)
Bagi sebagian orang pers merupakan momok yang sangat menakutkan, pers mampu mengungkapkan kejadian atau pelanggaran hukum yang tidak banyak diketahui orang, namun disisi lain pers justru memberikan angin segar, karena sangat membantu masyarakat untuk mendapatkan informasi. Namun, fakta yang terjadi di lapangan, tidak sedikit kita jumpai para pencari berita mendapatkan ancaman dan ketidaknyamanan dalam melaksnakan tugasnya.
Setiap pers mendambakan kebebasan dalam menjalankan pekerjaannya. Perasaan tak ingin ditekan atau dipaksa menyampaikan peristiwa, akan tetapi disisi lain semua pers harus bertanggungjawab menentukan apa yang seharusnya disampaikan bagi pembacanya.

Kebebasan pers disetiap negara belum sepenuhnya mampu berjalan sebagaimana mestinya, terbukti makin maraknya peristiwa yang merugikan para kuli tinta,  baik itu secara fisik maupun psikologis, Bentuk pemukulan saat melakukan peliputan, ancaman yang seringkali datang merupakan bagian yang sering kali ditemui bagi para pencari berita.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers merupakan sebuah bukti sejarah monumental dalam menegakkan kedaulatan rakyat, demokrasi dan supremasi hukum. Istilah kebebasan pers dalam UU Pers telah disepakati diganti menjadi kemerdekaan pers.
UU RI, No. 40 Th. 1999, tentang Pers seharusnya dijadikan sebagai acuan untuk setiap sengketa pers. Sebab UU Pers termasuk undang-undang khusus, artinya UU Pers sudah lex specialis. Sejak refomasi 1998 kebebasan pers di Indonesia sepanjang tahun 2007 mengalami kemunduran. Bentuk kekerasan fisik berupa penganiayaan, pemukulan, pelemparan, pengroyokan, hingga intimidasi sering kali terjadi. Sedang nonfisik antara lain penyegelan kantor penerbitan, unjuk rasa, dan yang paling sering terjadi adalah teror atau ancaman terhadap media maupun wartawan. Sementara yang lain berupa bentuk pelarangan peliputan, pengusiran, perampasan alat kerja pers, hingga pengaduan pencemaran nama baik atau perbuatan tidak menyenangkan terhadap sebuah produk pers.
Dalam menulis atau menurunkan suatu laporan hasil investigasi atau berita, pers harus akurat. Kesalahan-kesalahan sekecil apa pun sebaiknya dihindarkan. Kenyataannya, pers sering ceroboh, salah menulis nama, salah menterjemahkan maksud narasumber dan kadang membuat opini dalam laporan tanpa didukung data dan fakta. Akibatnya, tidak sedikit masyarakat dirugikan. Kalau seperti ini, pers bisa menjadi monster yang menakutkan, sebab bisa merugikan, memvonis dan menyalahkan siapa saja.
Perlindungan hukum bagi wartawan sebagaimana yang tertuang dalam UU Pers belum sepenuhnya berjalan sebagaimana yang diharapkan. Pemerintah yang selayaknya menjadi penopang dari undang-undang tersebut terkesan menutup mata. Bahkan pemberian informasi yang selayaknya didapatkan para wartawan masih menjadi polemik hingga saat ini. Perlindungan hukum bagi wartawan yang diamanahkan dalam UU Pers lebih memberikan kebebasan bagi wartawan dalam mencari dan menginformasikan sebuah berita.
Secara etimologis kata ”pers” (Belanda) ”press” (Inggris) ”presse”  (Perancis) berarti “tekan” atau “cetak”. Berasal dari bahasa latin, pressare dari kata premere (tekan). Definisi terminologisnya ialah ”media massa cetak” disingkat ”media cetak”. Bahasa Belandanya drukpers, atau pers, bahasa Inggrisnya printed media atau printing press, atau press. Istilah pers sudah lazim diartikan sebagai “surat kabar” (newspaper) atau “majalah” (magazine).
UU RI, No. 40 Th. 1999, tentang Pers menerangkan, pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia (Pasal 1 angka 1).
Dengan demikian, lembaga pers memiliki hak, kewajiban dan tanggungjawab kepada masyarakat. Hak, kewajiban dan tanggungjawab tersebut memiliki sifat tersendiri, karena erat kaitannya dengan kehidupan komunikasi umat manusia yang merupakan salah satu kebutuhan dasar makhluk hidup.    
Menurut K. Baschwitz (dalam Muis, 12) ada lima ciri publisistik pers (komunikasi massa pers), yaitu ciri publisistik, ciri universalitas, ciri periodesitas, ciri aktualitas dan ciri komersialitas. Publisitas berarti pesan atau isi komunikasi pers terbuka untuk siapa saja, universalitas berarti isinya bermacam-macam (veelzeidigheid van inhoud). Kedua ciri ini mencerminkan makna komunikasi massa, ciri periodesitas berarti teratur waktu terbitnya seperti setiap hari, seminggu sekali, sekali dua minggu, sekali sebulan, sekali tiga bulan atau sekali enam bulan (berkala), ciri aktualitas berarti beritanya hangat, baru, segar, ada aktualitas obyektif dan ada subyektif atau isinya memang baru dan baru bagi orang-orang tertentu saja, ciri komersialitas berarti pers mempuyai fungsi dagang atau pers adalah sebuah komoditi (sekarang berkembang menjadi industri pers).
Jurnalistik selalu terkait dengan pers. Asal katanya dari bahasa latin, Diurnal, harian tiap hari. Acta Diurma, catatan harian atau pengumuman tertulis setiap hari dipapan pengumuman tentang kegiatan senat dizaman kaisar Romawi Julius Caesar (60 SM).
Jurnalistik ialah penyebaran informasi untuk publik, opini publik, dan hiburan untuk publik yang sifatnya sistematis dan dapat dipercaya melalui media komunikasi massa modern (Roland E. Wolseley dan  Laurence R Campbell, 1949, dalam Muis, 13).
Atau defenisi yang lebih luas jurnalistik adalah laporan tentang kejadian-kejadian yang sedang berlangsung pada saat ditulis, bukan kajian yang sudah defenitif tentang suatu keadaan. Secara historis wartawan atau jurnalis melaksanakan dua fungsi utama, melaporkan berita dan menawarkan tafsiran serta pendapat yang didasarkan atas berita. Wartawan dapat menulis laporan yang menghibur dan bernilai berita. Sedang orang yang menulis semata-mata untuk hiburan, misalnya para penulis skrip (cerita) TV bukanlah wartawan. Defenisi wartawan menurut UU RI, No. 40 Th. 1999, tentang Pers, wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.
Onong U. Efenndy (dalam Kasman, 2004:23) mengatakan bahwa jurnalistik adalah tehnik mengelola berita sejak dari mendapatkan bahan sampai kepada menyebarluaskannya kepada khalayak. Pada mulanya jurnalistik hanya mengelola hal-hal yang sifatnya informatif saja. Itu terbukti pada Acta Diurna sebagai produk jurnalistik pertama pada zaman Romawi Kuno, ketika kaisar Julius Caesar berkuasa.
Senada dengan pendapat tersebut di atas M. Djen Amar (dalam Kasman, 2004:23) mengatakan bahwa jurnalistik adalah usaha memproduksi kata-kata dan gambar-gambar yang dihubungkan dengan proses transfer ide/gagasan dengan bentuk suara. Inilah cikal bakal makna jurnalistik secara sederhana.
Sementara M. Ridwan (dalam Kasman, 2004:23) memaknai jurnalistik sebagai suatu kepandaian praktis mengumpulkan, menulis, mengedit berita untuk pemberitaan dalam surat kabar, majalah, atau terbitan berkala  lainnya. Selain bersifat keterampilan praktis, jurnalistik merupakan sebuah seni.
Menurut ketentuan hukumnya, yang disebut wartawan itu adalah karyawan yang melakukan pekerjaan kewartawanan secara kontinu. Sedangkan yang dinamakan kewartawanan itu ialah pekerjaan atau kegiatan maupun usaha yang sah yang berhubungan dengan pengumpulan, pengolahan dan penyiaran dalam bentuk fakta, pendapat, ulasan, gambar-gambar dan lain-lain sebagainya untuk perusahaan pers, radio, televisi dan film.
B.M. Diah dalam tulisannya yang berjudul “Profesi Wartawan” (dalam Atmadi, 1985:63) mengatakan bahwa dengan “variasi yang tidak jauh berkisar dari keadaan umumnya, sifat profesi wartawan di dunia serupa dan sebangun di mana-mana saja”.
Perlu diperhatikan, bahwa jurnalistik pada awalnya hanyalah pemberitaan atau laporan tertulis untuk pers. Tetapi kemudian dengan munculnya media elektronik khususnya radio dan TV muncul pula jurnalistik penyiaran atau jurnalistik udara tanpa tertulis (misalnya wawancara langsung).
Hal lain yang perlu diperhatikan, bahwa fungsi pers kurang lebih sama saja dengan fungsi jurnalistik dan media massa lain, seperti media penyiaran dan film, yaitu fungsi pemberitaan, hiburan dan pendidikan. Dalam bidang media massa film atau sinema (gambar hidup) ada pula fungsi pemberitaan yang disebut newsreel (bahasa inggris) atau film berita.
Istilah pers telah dikenal oleh masyarakat kita sebagai salah satu jenis media massa (media komunikasi massa). Banyak orang menyebutnya ”mass media” (bahasa Inggris) yang mestinya disebut ”media massa” (bahasa Indoensia). Misalnya dalam UU Pokok Pers, Pasal 2 ayat (1) (UU No. 11 Th. 1966, jo UU No. 4 Th. 1967, jo No. 4 Th. 1967, jo No. 21 Th. 1982) digunakan istilah ”mass media”. Biasa pula digunakan istilah media massa cetak, disingkat menjadi media cetak (printed media). Media massa adalah bagian komunikasi antara manusia (human communication) dalam arti, media merupakan saluran atau sarana untuk memperluas dan memperjauh jangkauan proses penyampain pesan antara manusia (Gamble, 1982:8 dalam Muis, 1996:12).
Oemar Seno Adji 1977:13 (dalam Muis, 1996:39) dalam buku mass media dan hukum mengemukakan bahwa, pers dalam arti yang sempit seperti diketahui mengandung penyiaran-penyiaran pikiran, gagasan ataupun berita-berita dengan kata tertulis. Sebaliknya pers dalam arti luas memasukkan di dalamnya semua media mass communications yang memancarkan pikiran, dan perasaan seseorang baik dengan kata-kata tertulis maupun dengan lisan.

Menurut Leksikom (dalam Muis, 1996:39) komunikasi pers berarti:
1.    Usaha percetakan atau penerbitan.
2.    Usaha pengumpulan dan penyiaran berita.
3.    Penyiaran berita melalui surat kabar, majalah, radio, dan televisi.
Sedangkan istilah ”press” berasal dari bahasa Inggris ”to press” artinya menekan, selanjutnya press atau pers diartikan sebagai surat kabar dan majalah (dalam arti sempit) dan pers dalam arti luas yang menyangkut media massa (surat kabar, radio, televisi dan film).
Menurut Kusumaningrat (2004:17) pers dalam arti kata sempit yaitu yang menyangkut kegiatan komunikasi yang hanya dilakukan dengan perantaraan barang cetakan, sedangkan pers dalam arti luas adalah menyangkut kegiatan komunikasi baik yang dilakukan dengan media cetak maupun dengan media elektronik, seperti radio, televisi maupun internet.
Dengan demikian, lembaga pers memiliki hak, kewajiban dan tanggungjawab kepada masyarakat. Hak, kewajiban dan tanggungjawab tersebut memiliki sifat tersendiri, karena erat kaitannya dengan kehidupan komunikasi umat manusia yang merupakan salah satu kebutuhan dasar makhluk hidup. 
Pada UU RI, No. 40 Th. 1999 tentang Pers terdapat 5 pasal mengenai fungsi, hak kewajiban dan peranan pers, yaitu, Pasal 2 berisi kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Pasal 3 terdiri dari ayat (1) pers nasional mempuyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Ayat (2) disamping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
Selanjutnya, Pasal 4 ayat (1) ditegaskan kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Ayat (2) terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Sementara ayat (3) menyebutkan tentang jaminan kemerdekaan pers, pers nasional mempuyai hak mencari, memperoleh, dan menyampaikan gagasan dan informasi, dan ayat (4) tentang hak wartawam ditegaskan dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempuyai hak tolak. 
Pasal 5 berisi ayat (1) menerangkan pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Ayat (2) pers wajib melayani hak jawab, dan ayat (3) pers wajib melayani hak koreksi. 
Sedangkan tentang peranan pers dimuat dalam Pasal 6 yang berisi pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:
a.    Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.
b.    Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan.
c.    Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar.
d.    Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
e.    Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Lahirnya UU Pers yang baru tersebut atas pertimbangan bahwa UU No. 11 Th. 1966, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah lagi dengan UU No. 4 Th. 1967 dan diubah lagi dengan UU No. 21 Th. 1982, sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan zaman.
Disamping itu diterbitkannya undang-undang yang baru itu dimaksudkan agar pers berfungsi secara maksimal. Fungsi yang maksimal itu diperlukan karena kemerdekaan pers adalah salah satu perwujudan kedaulatan rakyat dan merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis.
Pencabutan UU Pers lama yang diganti dengan UU RI, No. 40 Th. 1999 tentang Pers pada hakikatnya mencerminkan adanya perbedaan nilai-nilai dasar politis, ideologis antara orde baru dengan orde reformasi. Hal ini tampak dengan jelas dalam konsideran UU RI, No. 40 Th. 1999 tentang Pers, yang antara lain bahwa undang-undang tentang ketentuan pokok pers yang lama dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman.
Apabila dibandingkan antara konsiderans UU No. 11 Th. 1966, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers yang telah diubah dengan UU No. 4 Th. 1967 dan diubah kembali oleh UU No. 21 Th. 1982 sebagai landasan yuridis sistem pers orde baru, dengan UU No. 40 Th. 1999, tentang Pers, maka meskipun jumlah konsiderannya sama dari ”a” sampai ”f” sungguh sangat berbeda. Untuk sekedar gambaran, kita bandingkan konsiderans butir c UU No. 11 Th. 1966 dengan butir c UU 40 Tahun 1999.
Butir c konsiderans UU No 11 Tahun 1966 berisi: ”bahwa sesuai dengan asas-asas demokrasi Pancasila, pembinaan pers ada di tangan pemerintah bersama-sama dengan perwakilan pers”, sedangkan butir c konsiderans UU No. 40 Th. 1999 berbunyi: “bahwa pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas campur tangan dan paksaan darimanapun”.
Selanjutnya dalam butir d dalam konsiderans UU No. 11 Th. 1966 berisi: bahwa pers merupakan alat revolusi, alat sosial kontrol, alat pendidik, alat penyalur dan pembentuk pendapat umum, serta alat penggerak massa, sedangkan butir d konsiderans UU 40 Th. 1999 berbunyi: bahwa pers nasional berperan ikut menjaga ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Berdasarkan konsiderans tersebut di atas, jelaslah bahwa sistem pers dipengaruhi atau mengikuti sistem pemerintahan yang berlaku pada saat itu, dan dipengaruhi pula oleh kondisi dan situasi lingkungan.
UU RI, No. 40 Th. 1999, tentang Pers lahir dari suasana euforia reformasi dan dibidani oleh lembaga legislatif dan lembaga eksekutif yang sangat dipengaruhi oleh gelora reformasi, walaupun mereka terdiri dari orang-orang orde baru (Kahya, 2004:49).
Dengan undang-undang tersebut sistem pers Indonesia mengalami perubahan yang sangat esensial dan subtansial, sebagaimana telah digambarkan di atas. Kehidupan pers mulai bergairah, pers terbebas dari segala tekanan yang sangat berat. Pers bebas dari campur tangan dan paksaan darimanapun, termasuk campur tangan dan paksaan dari pemerintah. Sejak diundangkannya undang-undang ini, pers mulai menghirup udara kebebasan untuk melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya secara profesional, meski sementara pihak ada yang menilai kebebasan yang kebablasan. @Maju Terus Pers Indonesia...

3 komentar:

  1. The Sands Casino & Resort
    At Sands Casino & Resort, a luxury hotel, 메리트 카지노 주소 a world-class spa, a world-class spa, and a world-class fitness center all open 샌즈카지노 24 hours a day, choegocasino every day.

    BalasHapus
  2. Lucky Club Casino Site Review and Rating for 2021
    Lucky Club luckyclub Casino is one of the oldest casino sites and has a very good reputation among players. The casino site is licensed by the Gibraltar Gaming Authority

    BalasHapus
  3. Betfred casino - JMT Hub
    Betfred 구미 출장마사지 casino - Use our bonus 충청남도 출장안마 code JMTBESTRF 상주 출장안마 for extra spins and £20 Free Bet. Place a bet now - min. bet 부산광역 출장샵 amount: £20 and max. stake: 김제 출장마사지 £20, Min. bet amount: £10

    BalasHapus